Jumat, 22 Juli 2011

Jakarta-Bandung Pulang Pergi: Terminal Keberangkatan dan Kepergian


CCF Bandung 19 Juli 2011. Menjelang pukul setengah sembilan malam. Saya agak terlambat, tapi tak apalah. Keramaian itu, toh,  masih menggila. “Jakarta Bandung Pulang Pergi”, pameran yang digagas 10 seniman itu, memang agak-agak bernuansa romantis dari sisi tematik yang diangkatnya. Romansa memang kerap dihadirkan pada berbagai perwujudan: Marah, kesal, masa lalu, umpatan, kerumitan, dan berbagai frasa lainnya yang mungkin bernuansa agak-agak personal. 


Memasuki ruang pameran, karya Ritchie Ned Hansel yang bertajuk “There’s a Light Never Goes Out” menangkap mata saya dengan begitu memabukkan. Lampu neon ungu bertuliskan “Trap” menjadi sebuah kata yang cukup tegas menggambarkan bagaimana romantisme ala Jakarta-Bandung tercipta. Hubungan benci tapi rindu meski disematkan pada karya yang satu ini jikalah mungkin kata-kata simbiosis mutualisme materi terlalu kasar diujarkan.Silakan klik untuk membaca lanjutannya :)

Sabtu, 05 Maret 2011

Sekadar Foto Amatir Tentang Lelaki dan Kopi

Perkenalkan, namanya Deden. Lelaki Ngeganteng jikalah ia hidup di era 80-an, perpaduan Rano Karno dan Roy Marteen. Di tangannya, segelas kopi dan sebungkus gorengan berebut menjadi primadona. Kopi hitam panas itu mengepul dan Deden seperti tak sabar ingin menghirupnya. Mulutnya yang penuh gorengan meniup-niup sang kopi. Tangannya gemetar, kakinya yang hanya ditemani sandal jepit murah bergoyang-goyang seperti bocah yang tengah tekun bermain. Bibirnya seperti hendak menyemburkan kata-kata, entah karena ia tengah lapar atau mengidap Skizofrenia.

Lelaki dan Kopi
 Hanya satu menit saya duduk di sebelahnya, dan selama itu pula para muda-mudi mahasiswa yang berseliweran di hadapannya menyapa Deden dengan penuh ejekan seakan ia, lelaki ngeganteng itu, adalah badut sirkus. Cess, rokok pemberian saya dinyalakan dan dihisap dengan segera. Cess, mahasiswa super dandy dengan blackberry di tangannya menahan tawa melihat Deden. Lelaki dan kopi itu lalu memberikan pemandangan ironi urban yang menggelisahkan: Betapa kita kerap membodohi dan dibodohi realitas, betapa teori dan hipotesa seringkali terlalu jauh berlari meninggalkan realitas.

Rabu, 02 Juni 2010

THE GLORY IS (NOT) OVER

-Catatan ala kadarnya sok-sok serius padahal ngaco –
29 Mei 2010
Sudah mulai larut, kantung nyaris mengkerut, tapi Bandung dan lalu lalang akhir minggu menolak untuk ditinggalkan, “tak pantas dan tak elegan rasanya meninggalkan kami yang sudah tampil sexy!” Yeah, weekend di kota ini memang selalu hot meski sudah teracuni aneka ragam plat mulai dari B sampai Z. Sebungkus rokok dan hanya beberapa lembar rupiah menjadi pertimbangan realistis untuk mencari hiburan gratisan yang tak menelan biaya milyaran. “Ada Leo Christy,” ungkap seorang kawan fotografer urakan memberitahu via ponsel qwerty second-nya. Dan terdamparlah kemudian saya di sebuah gedung bernama Indonesia Menggugat. Ramai adalah kata sambutan yang terlalu riuh rendah. Kepala celingak-celinguk mencari sekadar muka-muka yang dikenal sebelum akhirnya menggelesot di samping gedung menunggu sang legend itu mentas. Si fotografer urakan itu juga ada di sana, menggelesot seperti vespa kekurangan oli samping. Ya, ya. Kami berbincang-bincang dengan orang-orang lainnya sembari menunggu yang ditunggu menghantam panggung. Bukan percakapan yang maha penting, namun cukup mesra dan hangat. Cocok untuk menunggu waktu tinimbang menyaksikan performance pembuka yang terlalu panjang dan bertele-tele. Tak begitu buruk, memang. Tapi bukan itu yang sedang ingin saya saksikan. Ah, ya. perihal Leo ini sebenarnya saya tak terlalu hapal betul. Hanya ingat rupa wajahnya samar-samar melalui ingatan masa kecil ketika asyik masyuk menonton televisi. Lagunya? Jangan tanya. Demi mengingat kesamarannya, bagaimana mungkin saya mengingat karya-karyanya. Tapi, sama seperti halnya percakapan yang membungkus malam, itu bukanlah hal yang maha penting, setidaknya bagi saya.

Tiga jam penantian, akhirnya Leo datang. Bertopi tinggi dengan motif bintang-bintang mengkilap, plus berjaket merah marun menyala dan menggunakan kain panjang putih, sang musisi itu bergaya glitter rock yang dipadukan dengan gaya pesulap di acara ulang tahun. Fansnya mulai menggila dengan tertib. Sesi foto-foto dadakan menunda penampilannya barang beberapa jenak. Saya pun turut sibuk mencari posisi duduk yang pas. Sukses. Saya duduk tepat di bagian depan. Ia memasuki arena. Tepuk tangan agak heboh namun ,lagi-lagi, tertib membuat saya secara tak sadar ikut-ikutan bertepuk tangan. Ia kemudian berbasa-basi sebentar sebelum akhirnya membuka jaket dan kain yg membungkus tubuhnya. Ganti kostum dadakan di panggung! Gitar listrik meraung-raung kelelahan! suaranya membahana tak kenal lelah! Sayang, soundsystem kurang bersahabat. Tuntas satu lagu, ia ganyang gitar akustik, menghajar lagu berikutnya. kakinya kanannya petentengan naik ke atas drum kaleng yang memang sudah disediakan. Habis lagu kedua, celana dibuka, lagi-lagi ganti kostum dadakan. Gitar lainnya diambil, kembali diperkosa habis-habisan dengan nuansa-nuansa balada dan rock klasik yang mencakar.

Leo, si legenda itu, sendiri saja mentas, tanpa diiringi siapapun dan alat musik apapun kecuali gitar di tangannya. Keringatnya sudah muncrat ke mana-mana seirama dengan semangatnya yang mulai menjadi virus mematikan dan dengan cepat menjalar ke seentaro ruangan. Di tengah aksinya yang kian liar, saya mencoba mengingat-ingat lirik-lirik lagu yang dibawakannya. Sial, tak ada barang satupun memori yang hinggap di kepala. “Ia mungkin memang sudah habis di ingatan saya,” gumam ego saya di dalam hati. Meskipun begitu, tak ada sedikitpun niatan saya untuk meninggalkan gelanggang pertunjukan. Ia, dengan segala atribut yang dimilikinya malam itu, menahan saya untuk tetap diam di tempat, membuat saya, lelaki yang hidup di abad ke-21 ini, menikmati tiap detik kebersamaan yang ditawarkannya. Aksinya tak berlangsung lama, hanya beberapa lagu saja yang ia bawakan sebelum akhirnya ia mulai tampak ngos-ngosan berkelahi dengan oksigen di paru-parunya.

Tak sampai satu jam, mungkin hanya 30 menit lebih sedikit, tuntas sudah ia bertugas malam itu. Perhatian saya teralih untuk beranjak mencari celah keluar dari ruangan yang sudah terasa sangat pengap. Bersiap-siap pulang sambil terlebih dahulu berbincang dengan beberapa kawan yang juga menyaksikan aksi Leo malam itu. Satu per satu kendaraan mulai pergi dari pelataran GIM. Saya tak kalah gesit menuju parkiran. Merapikan jaket, memasang penutup mulut, sarung tangan, helm, membuka gembok, menstarter motor. Dari kejauhan saya lihat Leo keluar ruangan dan menuju mobil yang menjemputnya. Motor mendadak mati. Saya starter lagi, ngadat, tak mau hidup. Leo asyik bercakap-cakap dengan beberapa orang. Perjuangan belum tuntas. Kali ini starter manual dengan kaki. Masih ngadat. Mungkin kedinginan. Leo masih asyik bercakap-cakap Kaki kembali menjejak. Kali ini hidup. Leo terus asyik bercakap-cakap. Standar motor dinaikkan. Saya melaju. Pelan. Leo belum tuntas bercakap-cakap. Saya mengamati jalanan. Leo bercakap-cakap dalam pikiran saya, bercampur dengan percakapan tak maha penting beberapa jam yang lalu:
“aku kasihan ngeliat Leo,” celetuk seorang kawan.
“Kenapa?”
“Kasihan aja.”

Saya terdiam. Hanya tersenyum kecil menanggapi percakapan itu. Mencoba paham meski tak terlalu paham dengan kalimat singkat itu. Tapi itu beberapa jam yang lalu. Sekarang, di atas motor seusai mengantar fotografer urakan itu berkencan sehabis menyaksikan Leo, saya memahami salah satu bagian dari percakapan tak maha penting itu. Kasihan? Mungkin karena melihat ia yang setua dan sesendiri itu di saat masa emasnya sudah lewat. Yeah, mungkin kejayaan Leo sudah tamat, tapi bagi saya, detik di mana ingatan banyak orang terhadapnya sudah mulai mengabur, di detik itulah justru ia berjaya karena berani terus bercakap-cakap. His glory is (not) over. Setidaknya “his glory” tidak akan berakhir sampai ia gagal untuk membuat saya dan orang lain yang melihatnya, bercakap-cakap. Yeah u rock, dude alias kamu ngerock banget alias maneh ngerock pisan. ST12 dan konco-konconya tidak pernah berhasil membuat saya bercakap-cakap. Tak banyak yang bisa membuat saya bercakap-cakap. Leo membuat saya bercakap-cakap dan kangen dengan gitar bolong di kamar!

Kamis, 21 Mei 2009

ANDONG YANG TAK PERNAH TERGUSUR

Puluhan tahun lalu andong merupakan salah satu angkutan umum massal primadona masyarakat perkotaan, namun seiring pesatnya perkembangan dunia otomotif, lambat tapi pasti ia pun mulai mendapat saingan yang tak bisa dikejarnya. Posisi andong akhirnya bergeser, dari salah satu alat transportasi utama menjadi sekadar peninggalan masa lalu yang lebih banyak bertebaran di tempat-tempat rekreasi. Di Bandung sendiri kendaraaan bertenaga kuda ini dapat dijumpai di sekitar Taman Ganesha dan Cilaki. Hampir setiap hari, khususnya pada akhir pekan, andong dengan setia memberi hiburan bagi para pelancong yang ingin merasakan sensasi menaiki kereta kuda tersebut. Ahmad Heryana adalah salah satu dari kusir andong yang saban hari mengais rezeki di kitaran Ganesha. Secara turun-temurun pekerjaan menjadi kusir andong dilakoni oleh keluarganya. “Kakek saya itu kusir andong di Bandung pada era tahun 40-an,” ia kemudian bercerita.

Ahmad mengaku bahwa sebelum di Ganesha, ia pernah menarik Andong di daerah Lembang. “ Ya, tapi, lama-kelamaan penghasilan yang saya dapatkan semakin menurun, apalagi sekarang angkot kian banyak,” ucapnya kemudian.

Seakan seragam dengan perkataan Ahmad, pun demikian pula halnya Asep Udin. Lelaki yang telah puluhan tahun menarik andong ini sudah tiga tahun terakhir berpindah operasi ke Ganesha. Asep sebelumnya juga menarik andong di Lembang, namun jumlah penumpang yang kian menyusut memaksanya untuk mencari tempat mangkal baru. Taman Ganesha lalu menjadi pilihannya. “Maklum, Kang, orang jaman sekarang lebih senang naik angkutan umum bermotor atau menggunakan kendaraan pribadi dibanding naik andong, lebih efisien dan menghemat waktu,” tutur Asep dengan suara sedikit bergetar.

Akan tetapi, bukan berarti andong sebagai alat transportasi benar-benar mati, di pinggiran-pinggiran kota, ia ternyata masih cukup banyak berseliweran menjalankan tugas utamanya: menjadi alat transportasi massal. Cobalah melintas di Soreang atau Ujung Berung di Timur Bandung. Andong menjadi pemandangan umum yang dapat dijumpai dengan mudah. Di kawasan-kawasan tersebut, andong ternyata masih memiliki peranan yang cukup penting. Ia jelajahi daerah-daerah yang tak tersentuh angkutan umum modern.

Penelusuran terhadap andong ini lalu mengantarkan saya kepada Syafii, seorang kusir andong yang beroperasi di sekitar pasar Ujung berung. Secara melankolis, Syafii bisa dikatakan sebagai kusir andong sejati. Lebih dari separuh hidupnya dihabiskan di atas andong. Tak sedikitpun terbersit di kepalanya untuk berpindah tempat mangkal seperti Ahmad dan Asep. Setiap hari ia dengan setia mengangkut para pengunjung pasar. “ Rejeki saya mungkin memang di sini, lagipula saya sudah memiliki pelanggan tetap,” kecapnya.

Pelanggan tetap dan andong sarat muatan tentu saja bukan berarti kondisi ekonomi Syafii berkecukupan. “ Wah, kalau berbicara penghasilan, mah, mungkin penghasilan teman-teman saya yang beroperasi di tempat-tempat rekreasi mungkin jauh lebih besar. Kusir seperti saya yang benar-benar menjadikan andong sebagai alat transportasi tak bisa mematok tarif yang terlalu tinggi. Jika terlalu tinggi, bisa-bisa para penumpang saya beralih naik ojeg,” ujar Syafii.

Lalu mengapa Syafii tak beralih seperti kusir-kusir lainnya di Taman Ganesha dan Cilaki? Usia lanjut dalah alasan yang kemudian dilontarkannya. Selain itu, romansa andong adalah hal lainnya yang membuat Syafii lebih betah “berdinas” di daerah operasinya sekarang.

“ Ada begitu banyak kenangan, kepedihan, sekaligus kebanggaan dengan menjadi kusir yang benar-benar menjadikan andong sebagai alat transportasi,” tukasnya pelan, “mungkin alasan saya terdengar agak berlebihan, tapi, ya begitulah yang saya rasakan,” Syafii buru-buru menambahkan, kali ini, entah mengapa, suaranya terdengar begitu bersahaja.

Andong Syafii kini telah penuh dijejali penumpang. Menikmati detik-detik terakhir bersama Syafii hari itu tiba-tiba begitu saya nikmati. Tak lama kemudian suara ketoplak khas andong terdengar di telinga seiring andong sang kusir tua itu pelan-pelan menghilang dari pandangan. Sambil melangkah pergi, saya keluarkan buku catatan saya. Pena di tangan lalu bergerak menggores dengan cepat, menuliskan sebuah catatan pendek, “Syafii, Ahmad, dan Asep. Manusia yang begitu mencintai kehidupan sederhananya. Sang kusir yang tak sekadar menjadikan andong sebagai mata pencaharian utama, namun lebih dari itu, mereka dedikasikan hidupnya demi sebuah kendaraan tradisional agar terus hidup melaju dan tak pernah tergusur.”


Senin, 13 April 2009

WAYANG GOLEK YANG TERGOLEK

Kabut turun perlahan di salah satu sisi utara Bandung, belum terlalu larut, namun dinginnya kota sudah sedemikian hebat menggempur. Saya dan beberapa teman berjalan beriringan usai menghabiskan waktu di kota yang kian sesak ini. Sebuah keramaian di depan menghentikan langkah. Penuh penasaran kami bergerak mendekati keramaian tersebut.

“Ah, hanya pertunjukan wayang golek,” seorang teman berbicara pelan ketika mata kami berhasil menumbuk pada pusat keramaian. Untuk beberapa saat kami berdiri mematung melihat pertunjukan itu. Ya, hanya beberapa saat dan kemudian satu persatu dari kami mulai bergerak pergi. Dan di sinilah saya sekarang, menampik ajakan teman-teman untuk segera beranjak pergi. Sendiri saja tetap bertahan serta mencoba setia menyaksikan sang dalang memainkan wayang-wayangnya.

Riuh gelak penonton yang tak satu pun wajahnya saya kenal itu kemudian melarutkan saya pada ephoria eksotis yang mengagumkan. Lihatlah, di depan sana tokoh wayang bermuka merah yang akrab dengan nama Cepot tengah bertempur dengan raksasa jahat. Pertarungan mereka diracik dengan begitu hebat dan lucu oleh sang dalang. Bagaimana tidak, Sang Raksasa memuntahkan darah segar sekaligus mie instan dari mulutnya ketika Cepot berhasil membalas pukulannya. Penonton pun tergelak, apalagi kemudian dengan konyolnya si Cepot malah berujar ,”bagi euy, mie-na. Teu acan tuang yeuh tatadi (bagi dong mie-nya. Saya belum makan, nih sedari tadi),” gelak tawa pun semakin terdengar keras membahana.

Di tengah kesendirian menonton, sebuah wacana tiba-tiba menyelinap begitu saja memenuhi rongga kepala. Wayang golek, saya sering mendengarnya, namun pertunjukan di tengah lapang sempit sebuah lapangan voli kampung yang tengah saya saksikan ini seolah-olah menyadarkan saya betapa seni pertunjukan wayang golek, sama seperti halnya seni-seni tradisi sunda lainnya, adalah sebuah tradisi yang seolah-olah berdiri di tengah menara gading. Dengan kata lain, wayang golek adalah dua kata yang teramat sering kita dengar namun tak pernah kita nikmati, bahkan oleh warga Bandung sendiri! Jika tidak hadir di pinggiran-pinggiran kota, ia lebih banyak ditampilkan di hotel-hotel mewah atau di gedung-gedung Kedutaan Besar. Ia pada akhirnya menjadi begitu eksklusif sekaligus terasing dan sekaligus pula dianggap kuno serta udik di sisi yang lain, betapa mirisnya!

Rasa keingintahuan saya kemudian mendesak begitu hebat, memaksa untuk bertanya tentang wayang golek itu sendiri. Sengaja saya menunggu Subuh tiba ketika pertunjukan itu berakhir. Menghampiri sang Dalang dengan raut mukanya yang telah sedemikian lelah. Obrolan kami yang tak terlalu panjang membuka tabir wayang golek kepada saya.

Menurut penjelasan sang Dalang, munculnya wayang golek sebenarnya mirip dengan lahirnya wayang kulit di daerah Jawa bagian tengah. Ia pada awalnya dijadikan sebagai media untuk menyebarkan agama Islam oleh para wali. Ceritanya pun diambil dari kitab-kitab Hindu seperti kitab Mahabharata dan Ramayana yang dimodifikasi sedemikian rupa sehingga beralkulturasi dengan Islam. Pada perkembangan selanjutnya, wayang golek kemudian menjadi dominan sebagai seni pertunjukan rakyat yang memiliki fungsi yang relevan dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat lingkungannya, baik kebutuhan spiritual maupun material.

Masih berdasarkan penuturan sang Dalang, bermunculannya seni-seni kontemporer yang dianggap lebih mewakili kekinian membuatnya semakin tergerus dan terpinggirkan. lambat tapi pasti, ia ditusuk di tanahnya sendiri.

Embun pagi mulai terlihat satu demi satu, sang Dalang pun telah menghilang dari pandangan. Mata saya sedikit memerah menahan kantuk, iring-iringan Dalang dengan para krunya yang menumpang sebuah mobil pick-up butut perlahan beranjak meninggal segaris debu tipis. Lambat saya berjalan pulang, namun kepala saya tak henti berpikir tentang nasib golek yang terus tergolek ini. Ah, tapi, entah kenapa, muncul keyakinan besar dalam hati saya, seni yang satu ini tak akan pernah hilang, pecintanya masih demikian banyak menyelinap di antara kita. Satu hal yang pasti, ia kini memiliki seseorang yang mulai mencintainya. Ya, saya tahu, beberapa jam yang telah saya lewati barusan perlahan-lahan membuat saya jatuh cinta kepadanya. Mungkin, jika nanti anda secara tak sengaja menjumpai sebuah pertunjukan wayang golek di salah satu hari, anda akan tahu betapa kita memang harus mencintainya agar ia tidak hanya tergolek dalam catatan sejarah, semoga.

Jumat, 22 Februari 2008

Ode untuk Kawan

Jadi, aku melambung pada malam
Menyapih pagi dengan debu tanah yang basah oleh cahaya senja di ujung lintang kemarin petang
Membarat hebat pada sayap kecilmu yang tak pernah berkarat.

Bandung, 21 Februari 2008