Rabu, 02 Juni 2010

THE GLORY IS (NOT) OVER

-Catatan ala kadarnya sok-sok serius padahal ngaco –
29 Mei 2010
Sudah mulai larut, kantung nyaris mengkerut, tapi Bandung dan lalu lalang akhir minggu menolak untuk ditinggalkan, “tak pantas dan tak elegan rasanya meninggalkan kami yang sudah tampil sexy!” Yeah, weekend di kota ini memang selalu hot meski sudah teracuni aneka ragam plat mulai dari B sampai Z. Sebungkus rokok dan hanya beberapa lembar rupiah menjadi pertimbangan realistis untuk mencari hiburan gratisan yang tak menelan biaya milyaran. “Ada Leo Christy,” ungkap seorang kawan fotografer urakan memberitahu via ponsel qwerty second-nya. Dan terdamparlah kemudian saya di sebuah gedung bernama Indonesia Menggugat. Ramai adalah kata sambutan yang terlalu riuh rendah. Kepala celingak-celinguk mencari sekadar muka-muka yang dikenal sebelum akhirnya menggelesot di samping gedung menunggu sang legend itu mentas. Si fotografer urakan itu juga ada di sana, menggelesot seperti vespa kekurangan oli samping. Ya, ya. Kami berbincang-bincang dengan orang-orang lainnya sembari menunggu yang ditunggu menghantam panggung. Bukan percakapan yang maha penting, namun cukup mesra dan hangat. Cocok untuk menunggu waktu tinimbang menyaksikan performance pembuka yang terlalu panjang dan bertele-tele. Tak begitu buruk, memang. Tapi bukan itu yang sedang ingin saya saksikan. Ah, ya. perihal Leo ini sebenarnya saya tak terlalu hapal betul. Hanya ingat rupa wajahnya samar-samar melalui ingatan masa kecil ketika asyik masyuk menonton televisi. Lagunya? Jangan tanya. Demi mengingat kesamarannya, bagaimana mungkin saya mengingat karya-karyanya. Tapi, sama seperti halnya percakapan yang membungkus malam, itu bukanlah hal yang maha penting, setidaknya bagi saya.

Tiga jam penantian, akhirnya Leo datang. Bertopi tinggi dengan motif bintang-bintang mengkilap, plus berjaket merah marun menyala dan menggunakan kain panjang putih, sang musisi itu bergaya glitter rock yang dipadukan dengan gaya pesulap di acara ulang tahun. Fansnya mulai menggila dengan tertib. Sesi foto-foto dadakan menunda penampilannya barang beberapa jenak. Saya pun turut sibuk mencari posisi duduk yang pas. Sukses. Saya duduk tepat di bagian depan. Ia memasuki arena. Tepuk tangan agak heboh namun ,lagi-lagi, tertib membuat saya secara tak sadar ikut-ikutan bertepuk tangan. Ia kemudian berbasa-basi sebentar sebelum akhirnya membuka jaket dan kain yg membungkus tubuhnya. Ganti kostum dadakan di panggung! Gitar listrik meraung-raung kelelahan! suaranya membahana tak kenal lelah! Sayang, soundsystem kurang bersahabat. Tuntas satu lagu, ia ganyang gitar akustik, menghajar lagu berikutnya. kakinya kanannya petentengan naik ke atas drum kaleng yang memang sudah disediakan. Habis lagu kedua, celana dibuka, lagi-lagi ganti kostum dadakan. Gitar lainnya diambil, kembali diperkosa habis-habisan dengan nuansa-nuansa balada dan rock klasik yang mencakar.

Leo, si legenda itu, sendiri saja mentas, tanpa diiringi siapapun dan alat musik apapun kecuali gitar di tangannya. Keringatnya sudah muncrat ke mana-mana seirama dengan semangatnya yang mulai menjadi virus mematikan dan dengan cepat menjalar ke seentaro ruangan. Di tengah aksinya yang kian liar, saya mencoba mengingat-ingat lirik-lirik lagu yang dibawakannya. Sial, tak ada barang satupun memori yang hinggap di kepala. “Ia mungkin memang sudah habis di ingatan saya,” gumam ego saya di dalam hati. Meskipun begitu, tak ada sedikitpun niatan saya untuk meninggalkan gelanggang pertunjukan. Ia, dengan segala atribut yang dimilikinya malam itu, menahan saya untuk tetap diam di tempat, membuat saya, lelaki yang hidup di abad ke-21 ini, menikmati tiap detik kebersamaan yang ditawarkannya. Aksinya tak berlangsung lama, hanya beberapa lagu saja yang ia bawakan sebelum akhirnya ia mulai tampak ngos-ngosan berkelahi dengan oksigen di paru-parunya.

Tak sampai satu jam, mungkin hanya 30 menit lebih sedikit, tuntas sudah ia bertugas malam itu. Perhatian saya teralih untuk beranjak mencari celah keluar dari ruangan yang sudah terasa sangat pengap. Bersiap-siap pulang sambil terlebih dahulu berbincang dengan beberapa kawan yang juga menyaksikan aksi Leo malam itu. Satu per satu kendaraan mulai pergi dari pelataran GIM. Saya tak kalah gesit menuju parkiran. Merapikan jaket, memasang penutup mulut, sarung tangan, helm, membuka gembok, menstarter motor. Dari kejauhan saya lihat Leo keluar ruangan dan menuju mobil yang menjemputnya. Motor mendadak mati. Saya starter lagi, ngadat, tak mau hidup. Leo asyik bercakap-cakap dengan beberapa orang. Perjuangan belum tuntas. Kali ini starter manual dengan kaki. Masih ngadat. Mungkin kedinginan. Leo masih asyik bercakap-cakap Kaki kembali menjejak. Kali ini hidup. Leo terus asyik bercakap-cakap. Standar motor dinaikkan. Saya melaju. Pelan. Leo belum tuntas bercakap-cakap. Saya mengamati jalanan. Leo bercakap-cakap dalam pikiran saya, bercampur dengan percakapan tak maha penting beberapa jam yang lalu:
“aku kasihan ngeliat Leo,” celetuk seorang kawan.
“Kenapa?”
“Kasihan aja.”

Saya terdiam. Hanya tersenyum kecil menanggapi percakapan itu. Mencoba paham meski tak terlalu paham dengan kalimat singkat itu. Tapi itu beberapa jam yang lalu. Sekarang, di atas motor seusai mengantar fotografer urakan itu berkencan sehabis menyaksikan Leo, saya memahami salah satu bagian dari percakapan tak maha penting itu. Kasihan? Mungkin karena melihat ia yang setua dan sesendiri itu di saat masa emasnya sudah lewat. Yeah, mungkin kejayaan Leo sudah tamat, tapi bagi saya, detik di mana ingatan banyak orang terhadapnya sudah mulai mengabur, di detik itulah justru ia berjaya karena berani terus bercakap-cakap. His glory is (not) over. Setidaknya “his glory” tidak akan berakhir sampai ia gagal untuk membuat saya dan orang lain yang melihatnya, bercakap-cakap. Yeah u rock, dude alias kamu ngerock banget alias maneh ngerock pisan. ST12 dan konco-konconya tidak pernah berhasil membuat saya bercakap-cakap. Tak banyak yang bisa membuat saya bercakap-cakap. Leo membuat saya bercakap-cakap dan kangen dengan gitar bolong di kamar!