Kamis, 21 Mei 2009

ANDONG YANG TAK PERNAH TERGUSUR

Puluhan tahun lalu andong merupakan salah satu angkutan umum massal primadona masyarakat perkotaan, namun seiring pesatnya perkembangan dunia otomotif, lambat tapi pasti ia pun mulai mendapat saingan yang tak bisa dikejarnya. Posisi andong akhirnya bergeser, dari salah satu alat transportasi utama menjadi sekadar peninggalan masa lalu yang lebih banyak bertebaran di tempat-tempat rekreasi. Di Bandung sendiri kendaraaan bertenaga kuda ini dapat dijumpai di sekitar Taman Ganesha dan Cilaki. Hampir setiap hari, khususnya pada akhir pekan, andong dengan setia memberi hiburan bagi para pelancong yang ingin merasakan sensasi menaiki kereta kuda tersebut. Ahmad Heryana adalah salah satu dari kusir andong yang saban hari mengais rezeki di kitaran Ganesha. Secara turun-temurun pekerjaan menjadi kusir andong dilakoni oleh keluarganya. “Kakek saya itu kusir andong di Bandung pada era tahun 40-an,” ia kemudian bercerita.

Ahmad mengaku bahwa sebelum di Ganesha, ia pernah menarik Andong di daerah Lembang. “ Ya, tapi, lama-kelamaan penghasilan yang saya dapatkan semakin menurun, apalagi sekarang angkot kian banyak,” ucapnya kemudian.

Seakan seragam dengan perkataan Ahmad, pun demikian pula halnya Asep Udin. Lelaki yang telah puluhan tahun menarik andong ini sudah tiga tahun terakhir berpindah operasi ke Ganesha. Asep sebelumnya juga menarik andong di Lembang, namun jumlah penumpang yang kian menyusut memaksanya untuk mencari tempat mangkal baru. Taman Ganesha lalu menjadi pilihannya. “Maklum, Kang, orang jaman sekarang lebih senang naik angkutan umum bermotor atau menggunakan kendaraan pribadi dibanding naik andong, lebih efisien dan menghemat waktu,” tutur Asep dengan suara sedikit bergetar.

Akan tetapi, bukan berarti andong sebagai alat transportasi benar-benar mati, di pinggiran-pinggiran kota, ia ternyata masih cukup banyak berseliweran menjalankan tugas utamanya: menjadi alat transportasi massal. Cobalah melintas di Soreang atau Ujung Berung di Timur Bandung. Andong menjadi pemandangan umum yang dapat dijumpai dengan mudah. Di kawasan-kawasan tersebut, andong ternyata masih memiliki peranan yang cukup penting. Ia jelajahi daerah-daerah yang tak tersentuh angkutan umum modern.

Penelusuran terhadap andong ini lalu mengantarkan saya kepada Syafii, seorang kusir andong yang beroperasi di sekitar pasar Ujung berung. Secara melankolis, Syafii bisa dikatakan sebagai kusir andong sejati. Lebih dari separuh hidupnya dihabiskan di atas andong. Tak sedikitpun terbersit di kepalanya untuk berpindah tempat mangkal seperti Ahmad dan Asep. Setiap hari ia dengan setia mengangkut para pengunjung pasar. “ Rejeki saya mungkin memang di sini, lagipula saya sudah memiliki pelanggan tetap,” kecapnya.

Pelanggan tetap dan andong sarat muatan tentu saja bukan berarti kondisi ekonomi Syafii berkecukupan. “ Wah, kalau berbicara penghasilan, mah, mungkin penghasilan teman-teman saya yang beroperasi di tempat-tempat rekreasi mungkin jauh lebih besar. Kusir seperti saya yang benar-benar menjadikan andong sebagai alat transportasi tak bisa mematok tarif yang terlalu tinggi. Jika terlalu tinggi, bisa-bisa para penumpang saya beralih naik ojeg,” ujar Syafii.

Lalu mengapa Syafii tak beralih seperti kusir-kusir lainnya di Taman Ganesha dan Cilaki? Usia lanjut dalah alasan yang kemudian dilontarkannya. Selain itu, romansa andong adalah hal lainnya yang membuat Syafii lebih betah “berdinas” di daerah operasinya sekarang.

“ Ada begitu banyak kenangan, kepedihan, sekaligus kebanggaan dengan menjadi kusir yang benar-benar menjadikan andong sebagai alat transportasi,” tukasnya pelan, “mungkin alasan saya terdengar agak berlebihan, tapi, ya begitulah yang saya rasakan,” Syafii buru-buru menambahkan, kali ini, entah mengapa, suaranya terdengar begitu bersahaja.

Andong Syafii kini telah penuh dijejali penumpang. Menikmati detik-detik terakhir bersama Syafii hari itu tiba-tiba begitu saya nikmati. Tak lama kemudian suara ketoplak khas andong terdengar di telinga seiring andong sang kusir tua itu pelan-pelan menghilang dari pandangan. Sambil melangkah pergi, saya keluarkan buku catatan saya. Pena di tangan lalu bergerak menggores dengan cepat, menuliskan sebuah catatan pendek, “Syafii, Ahmad, dan Asep. Manusia yang begitu mencintai kehidupan sederhananya. Sang kusir yang tak sekadar menjadikan andong sebagai mata pencaharian utama, namun lebih dari itu, mereka dedikasikan hidupnya demi sebuah kendaraan tradisional agar terus hidup melaju dan tak pernah tergusur.”


Tidak ada komentar: