Senin, 26 November 2007

Perjalanan Pulang

Sungguh, bus berpendingin udara ini terlalu dingin dan serta-merta melemparku pada dunia asing yang terlalu nyaman, sedang, di luar sana, riuh suara pengasong, calo, petugas berseragam, dan tetek bengek terminal lainnya begitu ritmis menggema menjelmakan kenyataan. Aku tak habis pikir, bagaimana bisa tukang mie ayam yang terlihat tepat sepuluh meter di sisi kiri jendela tempatku duduk dapat begitu sibuk melayani para pembelinya yang silih berganti berdatangan. Peluhnya dengan biadab bercucur terperkosa siang, pun demikian para penikmat layanannya yang dengan bersemangat menambahi hidangan dengan saus-saus sambal berwarna merah menyala bersendok-sendok banyaknya.. Makanan sepanas itu pada siang sepanas ini!

Kupejamkan mata sesaat untuk kembali pada keterasingan yang sempat hilang direnggut kenyataan. Perlahan, ia, sang keterasingan itu, kembali merengkuh. Udara buatan kembali menguasai, memaksaku mengeluarkan sweater dan sesegera mungkin mengenakannya. Gigi dan telapak tanganku masih sedikit bergetar menahan hawa yang terlalu menusuk-nusuk itu.

Keringat mengeluh-memeluh dari pelalu-lalang yang hilir-mudik di tepian bus. Matahari hari ini memang sangat cerah, terlalu cerah malah, dan langit yang berpendar biru dengan segaris tipis awan memang tak mampu lagi menawarkan kesejukan.

Entah berapa lama aku tertidur ayam, mungkin hanya sekitar 5 menit. Suara cempreng nan lantang pedagang yang menjelajah mencari pembeli di dalam bus membuat telingaku bereaksi dan pada saat itu juga otak memberi respons sekaligus memberi perintah untuk membuka mata.

“Mas, Aqua mas, untuk di jalan. Mas?” tawar sang pedagang dengan tergesa. Aku menggeleng kecil, “sudah ada,” jawabku sambil lalu. “Rokok?” tawarnya kemudian. Ia ternyata belum menyerah. Aku kembali menggeleng, kali ini tanpa memperhatikan sorot matanya.

Huff… berbicara tentang mata, sudah ribuan pasang yang kulihat selama hidupku. Mungkin ngaco, tapi anehnya aku selalu percaya terhadap pembacaan yang kulakukan pada indera-indera penglihatan lawan bicaraku. Kemarin, misalnya, seorang lelaki paruh baya yang bersisian denganku disebuah halte terlihat menampakkan polah tubuh gelisah, sejurus kemudian ia tiba-tiba mengajak ngobrol, bertanya tujuan, apakah aku sudah bekerja, dan pertanyaan basa-basi lainnya yang kujawab dengan senang hati. Ya, dengan senang hati, sampai kemudian mata kami saling bertumbukkan. Lama. Matanya yang sedikit merah dan tidak terlalu segar itu bersorot lain. Menjelaskan sebentuk ketakutan yang tak kupahami. Lelaki itu mengobrol denganku bukan untuk mengusir kesepiannya. Aku tahu, matanya memberitahu, ia sedang ketakutan. Ketakutan pada apa? Mungkin istrinya di rumah minta cerai karena ia bermain dengan perempuan lain, atau anak semata wayangnya –jikalah ia memang hanya memiliki satu anak– sedang sekarat tergeletak di pojokan bangsal rumah sakit, atau hari-hari yang bergulir menjemukan sudah sedemikian akutnya sehingga ia begitu ketakutan, entahlah, bahkan, jika ditanya bagaimana bisa aku menyimpulkan sorot mata seperti itu bermakna ketakutan, aku sendiri tak bisa menjelaskannya. Hanya saja, seperti biasanya, aku begitu yakin terhadap proses pembacaan mata yang kulakukan itu.

“ Tataplah mata lawan bicaramu,” ujar temanku pada suatu perhentian hari, “karena pertempuran yang sebenarnya bukan terjadi di mulut. Interaksi mata, walau tidak berkata-kata, adalah ladang pembantaian yang tepat untuk saling membunuh,” lanjutnya kemudian. Matanya lurus memandang ke depan. Melihat hijau dedaunan yang terkena gradasi coklat, debu-debu khas perkotaan. Matanya tidak melihat ke arahku.

Bus yang kutumpangi akhirnya bergerak juga. Sebentar lagi ia akan berkelok-kelok menyusur aspal membelah ramai, mengantar manusia-manusia yang berada di dalamnya ke tujuan, pada kenyataannya masing-masing. Hening, terlalu hening malah. Padahal bus ini baru saja beranjak sekitar 45 menit. Suara-suara terminal kini telah berganti dengan desiran mesin-mesin, sesekali hanya terdengar bisik-bisik penumpang yang berbicara dengan teman seperjalanannya. Lagu-lagu tempo dulu yang menjadi ciri dan selalu diputar di dalam bus antar kota terdengar menyela pelan,

“guess it's gonna be a cold lonely summer, but i'll feel the emptiness, i'll send you all my dreams everyday in a letter…”

Mataku berpendar berkeliling seiring lagu yang tak bisa kuingat siapa yang membawakannya. Aku hanya bisa mengingat judulnya: Sealed with A Kiss. Lagu tentang janji kepulangan sang pelakon pada sebuah kepergian yang belum terjadi. Janji pada kesepian. “Melankolitas berlebih,” rutukku dalam hati.

Masih pendaran yang sama, hanya detiknya saja yang berbeda. Sepasang kekasih yang duduk di bangku seberang terlihat saling berpegangan tangan. Sang lelaki sedikit tertunduk menatap lantai bus, entah apa yang ada di kepalanya, aku tak berhasil melihat mata yang terus menerus tertumbuk ke bawah itu. Sedang, sang perempuan tak lepas-lepasnya memandang keluar. Sesekali mereka saling menoleh dan bertatapan, seakan-akan hendak memastikan bahwa tak ada kehilangan yang terjadi, lalu masing-masing kembali melakukan aktifitasnya. Dibelakang pasangan itu, duduk seorang perempuan muda yang memeluk dengan erat tas ransel dipangkuannya dengan tangan kiri. Ia sendiri saja, sama denganku. Mata perempuan itu tak henti-henti memandang telepon genggam di tangan kanannya. Sesekali ia mainkan benda itu dengan gelisah, kali lain ia tempelkan telepon genggam itu di telinganya untuk kemudian kembali gelisah. Keramaian di suatu tempat sana –siapapun yang hendak ia hubungi– mungkin membuat nada panggilnya tidak terdengar. Dan kegelisahannya semakin terus berlipat bersamaan dengan waktu miliknya yang tidak bercerita kepastian. Kemudian, entah mengapa, semuanya berputar terlalu cepat, berdesing membakar sekitar. Lelaki di depanku yang sedari tadi sibuk bolak-balik ke smoking area, ibu-ibu tua duduk terkantuk-kantuk di belakang supir, kondektur yang sedang tekun menghitung uang di tangannya, anak kecil dengan mulut belepotan coklat yang berdiam dalam damai di pangkuan ayahnya, pria muda yang sedang membetulkan letak kerah kemejanya, suami-istri yang terkikik-kikik pelan entah menertawakan apa, roda-roda berdecit menawarkan kegundahan, mesin-mesin menggeram, gemerutuk tertahan… semuanya berpadu, menyatu dalam pisahan-pisahan yang tak begitu jelas terbaca, sepi tertahan di sudut-sudut. Lamat-lamat, suara bisik-bisik yang tadi kudengar makin terdengar sayup. Makin jauh meninggalkanku.

***
Pukul 15.07

Seorang teman yang berjanji menjemput melambai-lambaikan tangannya sambil tersenyum renyah. Matanya bercerita bahwa ia sudah sedari tadi berdiri di depan peron. Kami lalu berpelukan sesaat. “ Jam berapa dari sana?” Tanyanya berbasa-basi. “Jam 12-an,” jawabku sekenanya.

“ Langsung pulang ke rumah atau…?” kali ini ia tidak berbasa-basi.
“ Sesore ini, pulang?” kubalikkan pertanyaannya.
Ia tertawa sambil menatapku lekat, “ aku tahu apa yang ada di kepalamu,” ia begitu pasti berujar.
Aku membalas tawanya seolah-olah membenarkan perkataannya, walaupun sebenarnya aku tidak terlalu ingin pergi ke tempat yang menurut kepalanya ada di kepalaku.

“ Sesore ini sudah hendak minum bir?” ia menggodaku.
“ Ya, sesore ini,” jawabku pasti, maksudku, mencoba terlihat pasti.

Kami kemudian berjalan ke tempat parkir. Sempat sekilas kulihat perempuan yang tadi satu bus denganku berdiri sendiri saja di pojokan ruang tunggu. Tangannya masih memegang telepon genggam dan matanya terlihat gelisah. Suara-suara riuh yang tadi sempat hilang selama perjalanan itu telah kembali dan menamparkan kenyataannya padaku, berkali-kali. Lagi dan lagi.

Jakarta, 9 November 2007