“Ah, hanya pertunjukan wayang golek,” seorang teman berbicara pelan ketika mata kami berhasil menumbuk pada pusat keramaian. Untuk beberapa saat kami berdiri mematung melihat pertunjukan itu. Ya, hanya beberapa saat dan kemudian satu persatu dari kami mulai bergerak pergi. Dan di sinilah saya sekarang, menampik ajakan teman-teman untuk segera beranjak pergi. Sendiri saja tetap bertahan serta mencoba setia menyaksikan sang dalang memainkan wayang-wayangnya.
Riuh gelak penonton yang tak satu pun wajahnya saya kenal itu kemudian melarutkan saya pada ephoria eksotis yang mengagumkan. Lihatlah, di depan sana tokoh wayang bermuka merah yang akrab dengan nama Cepot tengah bertempur dengan raksasa jahat. Pertarungan mereka diracik dengan begitu hebat dan lucu oleh sang dalang. Bagaimana tidak, Sang Raksasa memuntahkan darah segar sekaligus mie instan dari mulutnya ketika Cepot berhasil membalas pukulannya. Penonton pun tergelak, apalagi kemudian dengan konyolnya si Cepot malah berujar ,”bagi euy, mie-na. Teu acan tuang yeuh tatadi (bagi dong mie-nya. Saya belum makan, nih sedari tadi),” gelak tawa pun semakin terdengar keras membahana.
Di tengah kesendirian menonton, sebuah wacana tiba-tiba menyelinap begitu saja memenuhi rongga kepala. Wayang golek, saya sering mendengarnya, namun pertunjukan di tengah lapang sempit sebuah lapangan voli kampung yang tengah saya saksikan ini seolah-olah menyadarkan saya betapa seni pertunjukan wayang golek, sama seperti halnya seni-seni tradisi sunda lainnya, adalah sebuah tradisi yang seolah-olah berdiri di tengah menara gading. Dengan kata lain, wayang golek adalah dua kata yang teramat sering kita dengar namun tak pernah kita nikmati, bahkan oleh warga Bandung sendiri! Jika tidak hadir di pinggiran-pinggiran kota, ia lebih banyak ditampilkan di hotel-hotel mewah atau di gedung-gedung Kedutaan Besar. Ia pada akhirnya menjadi begitu eksklusif sekaligus terasing dan sekaligus pula dianggap kuno serta udik di sisi yang lain, betapa mirisnya!
Rasa keingintahuan saya kemudian mendesak begitu hebat, memaksa untuk bertanya tentang wayang golek itu sendiri. Sengaja saya menunggu Subuh tiba ketika pertunjukan itu berakhir. Menghampiri sang Dalang dengan raut mukanya yang telah sedemikian lelah. Obrolan kami yang tak terlalu panjang membuka tabir wayang golek kepada saya.
Menurut penjelasan sang Dalang, munculnya wayang golek sebenarnya mirip dengan lahirnya wayang kulit di daerah Jawa bagian tengah. Ia pada awalnya dijadikan sebagai media untuk menyebarkan agama Islam oleh para wali. Ceritanya pun diambil dari kitab-kitab Hindu seperti kitab Mahabharata dan Ramayana yang dimodifikasi sedemikian rupa sehingga beralkulturasi dengan Islam. Pada perkembangan selanjutnya, wayang golek kemudian menjadi dominan sebagai seni pertunjukan rakyat yang memiliki fungsi yang relevan dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat lingkungannya, baik kebutuhan spiritual maupun material.
Masih berdasarkan penuturan sang Dalang, bermunculannya seni-seni kontemporer yang dianggap lebih mewakili kekinian membuatnya semakin tergerus dan terpinggirkan. lambat tapi pasti, ia ditusuk di tanahnya sendiri.
Embun pagi mulai terlihat satu demi satu, sang Dalang pun telah menghilang dari pandangan. Mata saya sedikit memerah menahan kantuk, iring-iringan Dalang dengan para krunya yang menumpang sebuah mobil pick-up butut perlahan beranjak meninggal segaris debu tipis. Lambat saya berjalan pulang, namun kepala saya tak henti berpikir tentang nasib golek yang terus tergolek ini. Ah, tapi, entah kenapa, muncul keyakinan besar dalam hati saya, seni yang satu ini tak akan pernah hilang, pecintanya masih demikian banyak menyelinap di antara kita. Satu hal yang pasti, ia kini memiliki seseorang yang mulai mencintainya. Ya, saya tahu, beberapa jam yang telah saya lewati barusan perlahan-lahan membuat saya jatuh cinta kepadanya. Mungkin, jika nanti anda secara tak sengaja menjumpai sebuah pertunjukan wayang golek di salah satu hari, anda akan tahu betapa kita memang harus mencintainya agar ia tidak hanya tergolek dalam catatan sejarah, semoga.